A Plastic Planet, Idola K-Pop Sering Disebut Plastik

  Dyah Pitaloka      
Well, triggered?

Kalau itu jadi alasan kenapa membuka artikel ini, aku tidak akan menyalahkan. Karena bagi seseorang yang suka pada idol, kata-kata “plastik” menjadi salah satu kata yang bisa memancing kerusuhan dengan cepat. Itu juga menghitung faktor kedewasaan. Tapi tidak, bukan itu yang ingin kubahas, tapi plastik dalam arti harfiah.

Plastic. Siapa yang tidak tahu, kecuali hidup di gua selama dia bernafas. Semua aspek dalam kehidupan sehari-hari kita tanpa disadari bergantung pada plastik. Belanja selalu dimasukkan dalam kantong plastik, bungkus permen dari plastik. Alat elektronik yang kita pakai, selalu ada bahan plastiknya. Paper cups, it’s actually plastic. Don’t start with plastic surgery, except if you’re ignorant enough.

How much did we used it? Mulai dari fakta. Kita mulai membuat plastik 150 tahun lalu, murah, kuat, dan ringan. Sekarang plastik membantu sebagian jantung berdetak dan pesawat bisa mengangkasa. Lebih dari 40% hanya bersifat sekali pakai. Sekitar 9 juta ton berakhir di lautan setiap tahun. Sudah terdengar cukup parah? Belum.



Kalau berandai-andai, jika saat orang-orang pertama yang menyeberangi Atlantik dari Eropa ke Amerika Utara sudah menemukan plastic dan memperlakukannya seperti orang modern, Atlantik masih akan dipenuhi potongan kecil sampah sampai saat ini, hampir satu milenium setelahnya. Potongan-potongan itu dimakan oleh ikan, yang tentu saja, akhirnya kita makan.

Untungnya (?) plastik baru ditemukan di akhir abad 19. 9.2 milyar ton plastik sejak saat itu, 6.9 milyar ton berakhir sebagai sampah, sebagian besar di lautan, tempat terakhir di Bumi. Efeknya? Jutaan hewan laut terpengaruh, termasuk 700 spesies lindung terancam punah. Bahkan pada konferensi UNEP tahun 2017 lalu, masalah plastik disebut sebagai “ocean armageddon”

This isn’t a problem where we don’t know what the solution is. We know how to pick up garbage. Anyone can do it. We know how to dispose of it. We know how to recycle” – Ted Siegler

Ya, masalah plastik bukan sesuatu dimana kita tidak tahu solusi cepatnya seperti global warming. Kita tahu, tapi untuk melaksanakannya susah. Ini perbedaan besar. Untuk serius menangani plastik, kita harus merubah keseluruhan sistem; produksi, konsumsi, dan waste management. Dalam skala global. Untuk membayangkannya tidak susah; pikirkan apa yang harus dilakukan pada botol plastik bekas minumanmu, selain membuangnya ke tempat sampah.

Richard Thompson, seorang marine ecologist menyatakan keheranannya, dan para ilmuwan di luar sana; kenapa tidak ada lebih banyak sampah plastik yang ditemukan? Produksi plastik meningkat signifikan dari 2.3 juta ton (1950) menjadi 162 juta ton (1993) dan 448 juta ton (2015) pertanyaannya, dimana mereka? Jumlah sampah plastik yang sampai di tiap bibir pantai tidak sama dengan produksinya.

Salah satu jawaban awal ditemukan pada 2004. Sampah plastik berubah menjadi microplastics. Beberapa spesies crustacean memakan plastik, memotong satu kantong menjadi 1.7 juta bagian mikroskopis. Apakah ini solusi? Mengembangbiakkan spesies pemakan plastik? Tidak semudah itu.


Diambil oleh Justin Hoffman di perairan Sumbawa. What do you think?
Seperti sudah kubilang diatas, microplastics akan dimakan oleh ikan-ikan. Thompson mengatakan bahwa sejauh ini belum ditemukan bukti kalau microplastics yang dimakan ikan bisa berpengaruh ke daging ikan. Lain ceritanya dengan bahan kimia lain yang tercampur. “Kita tidak tahu berapa banyak bahan kimia yang terdapat pada microplastics sebelum mereka dimakan oleh hewan laut”

Bagaimana dengan biodegradable plastic? Itu hanya strategi pemasaran. Memang lebih mudah untuk terurai, tapi tetap butuh penanganan level industri. Mereka tidak akan hilang begitu saja seiring waktu. Malah, label biodegradable dinilai membuat orang malah lebih doyan nyampah.

Kalau 1950 adalah era dimana plastic mulai terkenal, sejak kapan kita mulai melihat dark side dari plastik? Sejak awal dimana lifestyle “Throwaway Living” dipopulerkan oleh majalah Life pada 1955, era yang sama dengan saat kepraktisannya dikenal luas.

Sekarang, Asia menjadi komoditas bagi growing economics yang sayangnya, dengan waste management yang hampir nol. Fakta, pada 2010, separo sampah plastik di seluruh dunia berasal dari 5 negara Asia; China, Filipina, Vietnam, Sri Lanka, dan Indonesia. Prestasi membanggakan bukan? Bagi yang otaknya terbalik, ya. Our own country are one of the worst in the world.



Plastic waste management masih menjadi kekurangan yang sangat vital bagi banyak negara di dunia. Cepat atau lambat, kita butuh untuk sadar pada hal ini. Setelah MA370 hilang pada 2014 lalu, masalah sampah di lautan untuk pertama kalinya bisa dilihat secara luas. Kita masih belum menemukan MA370, tapi membuka mata banyak orang tentang urgensi untuk penanganan plastik.

Sejak 2014, beberapa negara membuat hukum baru tentang plastik. Prancis berencana melarang penggunaan utensil plastik mulai 2020. Kenya bergabung dalam kelompok negara yang melarang penggunaan kantong plastik. Kosmetik yang mengandung plastik -not as bad as you can imagine- dilarang di UK, USA, dan Canada. Korporasi seperti Coca Cola, Unilever, dan Johnson&Johnson menekankan aturan penggunaan plastik pada produknya.

Dikutip dari National Geographic, 6 langkah mudah untuk membantu mengurangi penggunaan plastik;

Jangan gunakan kantong plastik. Setidaknya gunakan seminimal mungkin.
Berhenti menggunakan sedotan plastik.
Gunakan botol plastik reusable.
Hindari penggunaan produk dengan bungkus plastik.
Do recycle as much as possible.
Jangan nyampah sembarangan.


Plastic, with all of it’s convinience, became one of the biggest threat humans ever witness. Siapa yang akan menyangkal kepraktisannya, bagaimana plastik membuat kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah? Media dimana kalian membaca artikel ini, laptop, smartphone, tablet, all within plastic inside.

Nah, kenapa aku menulis panjang lebar soal plastic kali ini? Well, lebih karena aku merasa penggunaan plastik, waste management, dan kultur yang keliru dalam kehidupan sosial manusia. Sudah lama artikel ini masuk draft, dan menunggu momen ngidol yang tepat untuk merilisnya ternyata baru datang sekarang.

Apa itu? Well. Masih berhubungan dengan gelombang graduation baru-baru ini. Nana, Yumi, dan Johnson mengumumkan graduation dalam waktu berdekatan. Well, kupikir aku sudah cukup mengoceh panjang lebar soal pentingnya graduation dalam beberapa artikel terakhir, jadi kali ini lebih dari sudut pandang yang berbeda.


Different enough?
Mau sampai kapan kita akan beradu argumen soal graduation? Karena hanya akan ada dua sisi; setuju atau tidak. Dibagi lagi jadi dua; karena bukan oshi dan oshi. Dibagi lagi; karena sudah mentok atau disia-siakan di grup. Begitu terus tiada akhir. Awalnya semua sama; mereka sama-sama bagian dari satu grup.

Kalau dilihat dari awal, budaya ngidol kita itu tidak beda jauh dengan plastik; kebanyakan sekali pakai, ada yang baru, buang yang lama. Iya atau iya? Don’t even trying to defend yourself, we all do the same. It’s a circle. Wheter if it was justification, it’s another matter…

Yeah, kita melihat member baru datang, pasti langsung mencari info sebanyak mungkin tentang mereka. Mencari interest baru, potensi baru, ramalan baru… atau langsung mencari target iler baru. Budaya ngidol=plastik, throwaway living, tidak sepenuhnya salah. Menjadi salah kalau kita ada di tahap akhir; graduation alias waste management.

Sebagian hanya akan berakhir sebagai microplastics, ada untuk meneruskan cerita pada fans baru. Anggaplah seperti cerita ikan dan microplastics diatas. Sebagian akan total didaur ulang alias ikut pensiun ngidol. Sebagian lain, wasted. Washed out in the sea, damaging environments, still here there and everywhere and non-arguably, toxic.


Toxic, isn’t it? Beautiful, is not.
Tapi jelas, mengharap kalau plastic waste management bisa efektif, adalah mimpi di siang bolong. Masalah ini tidak muncul dalam semalam dan pemecahannya juga jelas tidak mungkin bisa dilakukan dalam satu malam juga. Budaya fandom dan sudut pandang selalu ada perbedaan, hanya saja, lebih sering daripada tidak, itu membuat tidak nyaman mayoritas.

Intinya, lebih banyak pada permasalahan literalnya -dan sedikit bumbu ngidolnya- adalah jangan menutup mata akan hal ini. It’s our problem. Everyone should make a change, not depending on others.

All images and videos used is credited to it’s respective owners
logoblog

Thanks for reading A Plastic Planet, Idola K-Pop Sering Disebut Plastik

Previous
« Prev Post